KOVO atau Federasi Voli Korea Selatan baru saja merilis daftar penghargaan Best 7 tahun 2025. Di kategori wanita, ketujuh pemain itu adalah:
- Best Opposite:
Gyselle Silva (GS Caltex)
- Best Outside
Hitters: Kim Yeon Koung (Pink Spiders) dan Vanja Bukilic (Red Sparks)
- Best Setter:
Yeum Hye Seon (Red Sparks)
- Best Middle
Blockers: Lee Da Hyeon (Hyundai Hillstate) dan Analise Fitzi (Pink Spiders)
- Best Libero: Im
Myun Ok (Hi Pass)
Loh, kok nggak ada nama Megawati? Padahal kan musim ini aksinya luar biasa di lapangan. Tapi di penghargaan ini, Mega seperti diabaikan.
Dari sini
muncul pertanyaan besar: Apa yang salah? Kenapa pemain sekelas Mega malah tidak
masuk Best 7?
Statistik Berbicara, Tapi…
Nggak usah
jauh-jauh ngomongin kontribusi Mega, cukup lihat statistiknya:
- Peringkat ketiga dalam skor reguler
- Pertama dalam attack success rate
- Pertama juga dalam open success rate
Bahkan di playoff,
dia memberikan 153 poin dalam lima pertandingan, lebih banyak dari Kim
Yeon-kyung yang dianggap sebagai legenda.
Tapi apa
hasilnya? Mega nggak dapat satu pun penghargaan. Best 7 aja nggak masuk.
Rasanya absurd, kan?
Fans Mega,
terutama dari Indonesia, langsung meledak. Di Twitter, Instagram, bahkan media
besar ramai membicarakan ini. Ada yang bilang ini bernada rasisme. Ada juga
yang ngomong, "Best 7 tanpa Mega itu tidak berarti."
Mega Lebih dari Sekadar Angka
Ini bukan cuma soal statistik. Mega adalah simbol. Dia jadi ikon besar bagi Indonesia dalam olahraga, khususnya voli. Dia tidak cuma mewakili Jung Kwan Jang, tapi juga ribuan, bahkan jutaan fans voli dari Indonesia.
Setiap kali
dia main, stadion penuh. Samsan Gymnasium di Incheon sampai catat rekor
kehadiran 6.082 orang di pertandingan kelima play off. Tapi apa balasan dari
V-League? Nggak ada.
Mega bahkan
dijadikan wajah pemasaran V-League. Dari video promosi sampai konten media
sosial, Mega selalu ada. Tapi saat penghargaan, kontribusinya seperti hilang
ditelan bumi. Lucu banget, kan? Ini seperti mengundang tamu ke rumah, tapi tidak
ditawari makan dan minum.
Alasan di Balik Kontroversi
Jadi kenapa
Mega nggak dapat penghargaan? Salah satu alasan yang sering disebut adalah
standar penilaian yang fokus ke performa musim reguler.
Tapi kalau
dilihat lagi, Mega nggak kalah unggul dari pemain lain yang masuk Best 7. Dia
juga MVP dua kali di babak reguler dan pemain kunci dalam rekor 13 kemenangan
beruntun timnya. Kalau ini nggak cukup, terus apa dong yang cukup?
Ada dugaan
kalau status Mega sebagai pemain asing, atau lebih spesifik, pemain dari kuota
Asia, bikin dia dipandang sebelah mata.
Ini juga bikin
banyak fans bertanya-tanya, “Kalau Mega orang Korea, apa hasilnya bakal beda?”
Pertanyaan ini valid banget, apalagi melihat bagaimana Kim Yeon-kyung, walaupun
layak, tetap mendominasi penghargaan.
Bahkan di final, Mega main dengan cedera lutut kanan. Meski begitu, dia tetap cetak 37 poin di game
kelima. Ini bukan cuma semangat juang; ini pengorbanan total. Dan apa yang dia
dapatkan sebagai balasan? Ketidakadilan.
Pelajaran untuk V-League
Keputusan KOVO
ini bukan cuma menyakiti pendukung Mega, tapi juga memberikan sinyal buruk bagi
pemain asing lain. Kalau mereka yang berkontribusi besar saja tidak dihargai,
siapa yang masih mau datang ke V-League? Ini bisa jadi preseden buruk yang
menghambat perkembangan liga di masa depan.
Kim Yeon-kyung
sendiri di wawancara di penghargaan tersebut bilang, "Saya berharap ada
pemain yang lebih baik muncul di masa depan. Ada pemain yang menerima gaji
besar tanpa harus bekerja keras. Tapi pemain asing yang berprestasi juga harus
diberikan perlakuan yang adil."
Harapan untuk Masa Depan
KOVO harus berubah.
Mereka perlu bikin standar penilaian yang tidak cuma fokus ke angka, tapi juga
kontribusi secara keseluruhan, baik di dalam maupun di luar lapangan.
Pemain seperti Mega, yang punya simbolisme kuat, layak dapat penghargaan setimpal. Kalau tidak, ya jangan heran kalau musim depan tidak ada lagi “Mega” lain yang mau bermain di Korea.