Jujur Tentang Rasa: Ketika Ulasan Kuliner Jadi Pedang Bermata Dua

 

Jujur Tentang Rasa

Dalam dunia food vlogger, kisah perseteruan antara owner makanannya dan si pengulasnya, rasanya sering sekali terjadi di Indonesia.

 

Misalnya, ada satu tempat makan atau makanan yang lagi viral. Semua orang posting dan bilang makanan di sana enak banget. Eh, beberapa minggu kemudian ada yang berani kasih ulasan dan bilang rasanya biasa aja, malah nggak sesuai ekspektasi.

 

Apa yang terjadi? Komentar penuh drama mulai bermunculan. Ada yang bilang, “Jangan jahat, nanti mematikan rezeki orang!” Ada juga yang nyeletuk, “Ah, pasti dibayar sama saingan nih.”

 

Kenapa Kejujuran Itu Sulit di Dunia Kuliner?

 

Masalahnya begini, di dunia bisnis kuliner, kejujuran itu ibarat masakan yang rasanya tergantung dari siapa yang mencicipi. Kalau ulasannya positif, orang jadi penasaran. Kalau negatif, reputasi langsung kena.

 

Tapi yang bikin susah, standar "jujur" tiap orang itu beda. Ada yang beneran objektif, ada juga yang cuma ikut tren.

 

Misalnya, ada daging steak yang katanya lembut, ternyata susah dikunyah. Ada martabak yang dibilang manisnya legit, malah bikin tenggorokan sakit.

 

Ketika kamu cerita pengalaman itu di medsos, responnya pasti campur aduk. Sebagian setuju, sebagian lainnya malah ngegas, “Ah, mungkin selera kamu aja yang aneh.” 


Makanya, banyak orang akhirnya memilih untuk bilang aman: “Enak kok, lumayan lah.” Padahal di hati kecilnya, jiahh.

 

Kalau Semua Dibilang Enak, Siapa yang Diuntungkan?

 

Mungkin kamu mikir, “Ya udah lah, bilang enak aja, daripada bikin masalah.” Tapi kalau terus-terusan begini, siapa yang diuntungkan? Konsumen jadi korban ekspektasi. Kamu rela bayar mahal buat menu yang nggak sesuai dengan harapan.

 

Di sisi lain, pelaku usaha sebenarnya juga ikut rugi, karena mereka nggak tahu apa yang harus diperbaiki. Semua dibilang enak, padahal pelanggan sebenarnya nggak balik lagi.

 

Pernah ada cerita tentang tempat makan yang menurun kualitasnya setelah viral. Awalnya rame banget, semua meja penuh. Tapi karena banyak orang cuma datang sekali, nggak ada pelanggan setia, akhirnya bangkrut pelan-pelan. 


Itu bukan karena ulasan jujur, tapi karena kebohongan kolektif dimana semua bilang enak, padahal realitanya nggak gitu.

 

Empati Itu Kunci, Bukan Basa-Basi

 

Sekarang mari bahas perspektif lain. Pelaku usaha kuliner itu tidak gampang hidupnya. Mereka harus mikir bahan baku, tenaga kerja, sewa tempat, dan seabrek hal lain yang kamu mungkin nggak pernah bayangkan.

 

Jadi ketika mereka dapat kritik pedas, pasti ada rasa sakit di sana. Tapi kritik itu perlu. Bedanya, kritik yang membangun tidak sama dengan menjatuhkan.

 

Misalnya, kamu bilang, “Nasi gorengnya terlalu berminyak, mungkin bisa dikurangi biar nggak eneg.” Itu jauh lebih baik daripada sekadar bilang, “Nggak enak, nggak akan beli lagi.”


Nasi gorengnya


Kritik jujur tapi empatik itu seperti memberi resep rahasia ke mereka, supaya usaha mereka makin maju.

 

Netralitas Itu Barang Langka

 

Satu hal lagi yang bikin ulasan kuliner semakin rumit, isu ulasan bayaran. Kalau seorang influencer terkenal bilang enak, pikiran orang pasti, “Ah, dibayar nih.”

 

Sebaliknya, kalau mereka bilang nggak enak, malah dituduh merusak usaha orang. Padahal nggak semua influencer itu palsu. Ada kok yang bener-bener tulus memberi pendapat.

 

Nah, tugas kita sebagai konsumen adalah belajar memilah. Jangan gampang percaya ulasan yang terlalu sempurna. Lihat juga ulasan dari orang-orang biasa. Biasanya, di sana kamu bisa dapat gambaran lebih jujur tentang rasa dan pelayanan.

 

Kejujuran yang Bertanggung Jawab

 

Ulasan kuliner itu penting, tapi cara menyampaikannya juga nggak kalah penting. Kalau kamu suka, apresiasi dengan tulus. Kalau nggak suka, sampaikan dengan sopan dan kasih masukan.

 

Ingat, di balik bisnis kuliner ada orang-orang yang mengandalkan usaha itu untuk hidup mereka. Jadi kejujuranmu harus diiringi dengan rasa tanggung jawab.

 

Terakhir jangan lupa, selera itu sifatnya subjektif. Apa yang menurutmu enak, belum tentu enak untuk orang lain. Sebaliknya, makanan yang nggak cocok di lidahmu, bisa jadi favorit orang lain.

 

Yang penting, tetap hormati usaha mereka sambil terus mendukung transparansi. Karena tanpa ulasan jujur, dunia kuliner tidak akan berkembang.

Lebih baru Lebih lama