Bicara tentang pajak, ada satu hal yang selalu sukses bikin saya garuk-garuk kepala: kenapa kita harus bayar pajak berkali-kali untuk uang yang sama? Analoginya ini seperti membeli tiket konser, tapi setiap kali mau tepuk tangan harus bayar lagi.
Yuk, mari kita bahas dengan hati yang ikhlas (atau
setidaknya mencoba).
Pajak Penghasilan: Bayar karena Cari Duit
Semua dimulai dari saat kita mendapat gaji dari
hasil memeras keringat. Kita bangun pagi, ngopi setengah sadar, macet-macetan
di jalan, kerja keras, lembur tanpa akhir, lalu... Jleb!
Sewaktu menerima gaji di akhir bulan, sudah
langsung terpotong oleh Pajak Penghasilan (PPh).
Tapi, tunggu dulu. Uang yang kita terima setelah
potongan itu sebenarnya belum “bersih.” Masih ada yang kurang.
Pajak Pertambahan Nilai: Bayar Lagi Saat Belanja
Sekarang, mari kita belanja kebutuhan pokok. Dengan
menggunakan uang yang sudah kena PPh tadi, kita beli sembako, bayar tagihan
listrik, atau mungkin traktir keluarga makan di restoran. Tebak apa? Kita akan ditagih
Pajak Pertambahan Nilai (PPn)!
Padahal kita sudah bayar pajak saat mendapatkan
uang itu kan? Sekarang kita harus bayar pajak lagi saat mengeluarkannya.
Pajak Barang Mewah: Bayar Buat Punya Barang Keren
Buat yang pengen punya barang premium,
siap-siaplah kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Jadi setelah bayar
pajak penghasilan dan membayar PPn saat membeli barang itu, kita masih harus
bayar pajak tambahan karena barang itu dianggap ‘mewah.’ Keren kan?
Pajak Kendaraan Bermotor: Bayar Karena Punya Barang yang Sudah Dibeli dan Dipajaki
Masih lanjut nih. Kita sudah bayar PPN waktu beli kendaraan,
bahkan tambahan PPnBM jika dikategorikan mewah. Tapi tiap tahunnya kita masih
harus bayar lagi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
Iya, rasanya kayak sudah beli tiket konser mahal,
tapi masih disuruh bayar lagi buat duduk di kursinya. PKB ini jadi semacam
"bayar ulang" atas hak kita untuk punya dan pakai kendaraan di jalan
raya.
Pajak Bumi dan Bangunan: Bayar Karena Punya Rumah
Setelah kerja keras, akhirnya kita beli rumah atau
tanah. Lalu... surprise! Ada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Rumah yang sudah
kita bayar pakai uang yang sudah dipajaki, ternyata masih dipajaki setiap
tahun.
Lucunya lagi, semakin strategis lokasi properti
kita, semakin tinggi nilai pajaknya. Jadi punya tanah di pinggir jalan utama
atau dekat fasilitas umum justru berasa kayak beban tambahan. Padahal bukannya
seharusnya nilai properti yang naik itu hak kita sebagai pemilik?
Pajak Itu Seperti Film Inception
Kalau dipikir-pikir, pajak ini mirip banget sama film Inception (2010) yang dibintangi Leonardo DiCaprio.. Dalam film itu, ada mimpi di dalam mimpi, yang berlapis-lapis hingga nggak jelas lagi mana dunia nyata dan mana dunia mimpi.
Sama seperti pajak, uang yang kita peroleh kena
pajak penghasilan, lalu kena pajak belanja, terus pajak barang mewah, dan
akhirnya pajak kepemilikan. Jadi ada pajak dalam pajak dalam pajak.
Kalau Christopher Nolan mau bikin sekuel
Inception, mungkin bisa ambil inspirasi dari sistem perpajakan.
Tapi di balik semua ini, pajak juga punya tujuan
mulia: membangun infrastruktur, subsidi kesehatan, pendidikan, dan banyak lagi.
Cuma kadang, prosesnya terasa seperti permainan yang aturannya nggak pernah
jelas.
Lain kali kalau liat slip gaji dengan potongan pajak atau struk belanja yang panjangnya kayak kitab undang-undang, tarik napas dalam-dalam. Anggap saja ini bagian dari ‘donasi wajib’ buat kehidupan sosial yang lebih baik, meski terasa seperti episode komedi tanpa akhir.