Sistem politik Indonesia selalu menarik untuk dibahas. Salah satu topik yang lagi panas-panasnya adalah soal penghapusan presidential threshold.
Sebagai warga negara
demokrasi yang terus berkembang, kita perlu berpikir lebih dalam. Setelah aturan
ini dihapus MK, bakal lebih baik atau malah bikin sistem makin kacau?
Definisi Presidential Threshold
Presidential
threshold adalah syarat partai atau koalisi partai untuk mencalonkan presiden,
yaitu minimal harus punya 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional di pemilu
sebelumnya. Tujuannya? Mengurangi calon presiden abal-abal dan mempermudah
stabilitas politik. Tapi efeknya tidak selalu seindah tujuannya.
Kelebihan Penghapusan Threshold
1. Lebih Banyak Pilihan Calon Presiden
Kalau
threshold ini dihapus, bakal lebih banyak calon presiden yang muncul. Ini bisa
membuka pintu buat tokoh-tokoh baru yang punya ide segar buat bangsa.
2. Mendorong Partisipasi Politik
Partai-partai
kecil sering dianggap tidak punya suara. Kalau threshold ini dihapus, mereka
punya peluang untuk unjuk gigi. Ini bisa meningkatkan semangat partisipasi
politik di kalangan masyarakat dan partai-partai kecil.
3. Mengurangi Politik Transaksional
Sistem koalisi seringkali bikin partai gede "jualan tiket" buat partai kecil. Efeknya? Politik transaksional jadi marak. Dengan menghapus threshold, kompetisi jadi lebih sehat, dan kamu tidak perlu lihat drama koalisi yang penuh intrik.
Kekurangan Penghapusan Threshold
1. Potensi Memperbanyak Calon Nggak Berkualitas
Sudah pasti
nanti tiba-tiba muncul belasan atau puluhan capres yang nggak jelas track
record-nya? Hapus threshold berarti hampir semua partai bisa mengajukan calon.
Risikonya, pemilih bisa bingung atau malah apatis dan jadi golput.
2. Kemungkinan Putaran Kedua Meningkat
Dengan
banyaknya calon, kemungkinan besar tidak ada yang dapat suara mayoritas di
putaran pertama. Putaran kedua ini butuh dana besar dan bisa memperpanjang
ketegangan politik.
3. Sulit Mencapai Stabilitas Politik
Presiden terpilih yang tidak didukung mayoritas partai di DPR bakal kesulitan menjalankan program. Dia harus negosiasi terus-menerus dengan berbagai partai kecil. Efisiensi pemerintah bisa terganggu.
Mana yang Lebih Baik untuk Indonesia?
Kalau
threshold dihapus, demokrasi bisa terasa lebih inklusif. Tapi tantangannya
adalah menjaga kualitas calon dan stabilitas politik. Di sisi lain,
mempertahankan threshold berarti kita tetap mengandalkan partai besar, yang membuat
suara partai kecil tidak ada artinya.
Kita butuh
sistem yang seimbang. Mungkin solusi terbaik adalah menurunkan angka threshold,
misalnya ke 10-15%, biar tetap ada penyaringan tapi tidak terlalu eksklusif.
Bisa Meniru Sistem Negara Mana?
Kalau bicara
contoh, kita bisa lirik Jerman. Di sana, sistem parlementernya memungkinkan
partai kecil punya suara tanpa bikin kekacauan. Tidak ada presidential
threshold karena mereka tidak pakai sistem presidensial, tapi mereka punya
aturan soal minimal suara untuk masuk parlemen (threshold 5%). Hasilnya?
Demokrasi yang stabil dan inklusif.
Bisa juga
tengok Amerika Serikat, yang tidak punya presidential threshold tapi tetap ada
filter ketat lewat sistem pemilu elektoral. Meski tidak sempurna, sistem ini
memastikan hanya kandidat serius yang maju.
Haruskah Threshold Dihapus?
Penghapusan
threshold itu ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ini bisa membuka pintu
buat calon baru dan partisipasi politik yang lebih luas. Di sisi lain, kita
nggak mau demokrasi jadi pasar malam yang penuh sesak tanpa aturan jelas.
Jadi apa langkah terbaik? Mungkin revisi aturan, bukan langsung menghapus. Turunkan ambang batas, pastikan penyaringan tetap ada, tapi beri kesempatan buat semua partai bersaing secara sehat. Demokrasi itu soal keseimbangan, bukan monopoli atau kebebasan tanpa arah.