Ketika Amal Baik Menjadi Konten, Dimana Ketulusannya?

Ketika Amal Baik Menjadi Konten, Dimana Ketulusannya?

Media sosial adalah ruang yang penuh warna. Di satu sisi menyatukan kita dengan berbagai cerita inspiratif, namun di sisi lain tak jarang kita terjebak dalam pusaran konten yang justru mengeksploitasi kesedihan orang lain.

 

Hal ini menjadi sorotan Ustadz Felix Siaw dalam diskusinya bersama Feni Rose di kanal YouTube Feni Rose Official, yang mengajak kita merenung lebih dalam.

 

"Bad News is Good News": Ironi dalam Dunia Konten

 

Dalam diskusinya, Ustadz Felix menggarisbawahi tren di mana penderitaan orang lain kerap dijadikan komoditas. “Bad news is good news,” ungkapnya, sebuah prinsip yang sering digunakan oleh media dan konten kreator untuk mendongkrak rating dan engagement. Ironis, bukan?

 

Kesedihan yang sejatinya membutuhkan empati malah diubah menjadi tontonan demi mendapatkan like, komentar, hingga follower.

 

Sebagai pengguna media sosial, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya, apakah ini etis dan benar-benar membantu? Banyak konten yang tampak seperti aksi kebaikan, namun di balik layar, ada agenda popularitas yang dikejar.

 

Memberi Tanpa Sorotan Kamera: Menghidupkan Ketulusan

 

Ustadz Felix mengingatkan bahwa amal baik sejatinya harus dilakukan tanpa pamrih, apalagi tanpa sorotan kamera.

 

Ketika seseorang memberi dengan tujuan menciptakan konten, ada risiko besar merendahkan martabat penerima bantuan. “Bukan tidak suka orangnya, tapi idenya yang perlu dikritisi,” katanya dengan tegas.

 

Pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan si penerima bantuan? Apakah mereka merasa dihargai, atau justru malu karena keadaannya dipertontonkan ke ribuan, bahkan jutaan orang? 


Islam mengajarkan bahwa memberi adalah amal mulia, namun niat di balik pemberian itu jauh lebih penting.

 

Belajar dari Rasulullah: Memberdayakan, Bukan Mempermalukan

 

Salah satu poin yang sangat menginspirasi adalah bagaimana Rasulullah SAW memberikan contoh dalam membantu sesama.

 

Ketika seseorang datang meminta bantuan, Rasulullah tidak serta-merta memberikan apa yang diminta. Beliau terlebih dahulu menanyakan, “Apa yang kamu miliki?” dan memberikan solusi yang memberdayakan. Tujuannya sederhana: agar penerima bantuan bisa berdikari dan merasa bermartabat.

 

Dalam konteks modern, ini adalah pelajaran yang sangat relevan. Membantu orang lain bukan hanya soal memberi uang atau barang, tetapi juga tentang memberikan kesempatan dan keberdayaan. Apakah bantuan kita mampu membuat mereka bangkit, atau justru membuat mereka semakin tergantung?

 

Bijak Mengonsumsi Konten

 

Sebagai konsumen media sosial, kita punya kekuatan untuk memilih konten yang kita dukung. Jika kita terus menonton dan memberikan like pada konten yang mengeksploitasi kesedihan, maka tren ini akan terus berlanjut.

 

Sebaliknya, dengan mendukung kreator yang menyebarkan kebaikan tanpa embel-embel manipulasi, kita bisa menjadi bagian dari perubahan.

 

Cobalah tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini benar-benar membantu dan dilakukan dengan niat tulus? Jangan ragu untuk berhenti mengikuti kreator yang terlalu sering menjadikan kesedihan sebagai alat marketing.

 

Amal yang Benar, Dampak yang Nyata

 

Pada akhirnya, membantu orang lain adalah tentang hati. Ketulusan tidak butuh kamera atau pengakuan. Sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, memberi adalah soal memberdayakan, bukan mempermalukan.

 

Dunia media sosial memang penuh godaan untuk pamer, tetapi kita selalu punya pilihan untuk kembali ke niat yang benar.

 

Mari kita renungkan sebuah pertanyaan sederhana: Apakah kebaikan kita adalah kebaikan yang memberikan dampak nyata atau sekadar demi sorotan? Jawaban atas pertanyaan ini adalah cerminan dari siapa kita sebenarnya.

Lebih baru Lebih lama