Ketika Pemerintah Minta Lebih Banyak dari Tuhan: PPN vs Zakat

pajak zakat

Tahun depan pemerintah resmi menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kabar ini langsung bikin banyak orang terdiam sesaat. Bukan karena kagum, tapi karena menghitung ulang sisa saldo di ATM.

Tahun depan, setiap kali belanja ada “jatah” tambahan yang harus disetor. Kaget, nggak percaya, dan sedikit marah. Tapi ya apa daya? Mau nggak mau, kita harus menghadapinya. 

Zakat Cuma 2,5% dan Tetap Sama Selama Ribuan Tahun 

Zakat adalah kewajiban bagi umat Muslim. Jumlahnya? Cuma 2,5% dari harta kita yang sudah mencapai nisab. Jumlah itu nggak pernah naik dari zaman unta jadi kendaraan utama sampai sekarang di era mobil listrik. 

Lucunya, Tuhan nggak pernah mengubah aturan, “Wahai umatku, tahun depan naik jadi 5% ya, soalnya surga perlu renovasi.” 

Konsistensi ini jelas bikin kita bertanya-tanya: kenapa pemerintah yang hanya mengurus satu negara bisa minta lebih banyak? Mungkin pemerintah perlu belajar dari Tuhan soal manajemen keuangan dan empati sosial. 

Sebagai perbandingan, coba hitung pajak penghasilan (PPh), pajak kendaraan, PPN, PBB, dan entah pajak apalagi yang menempel di hidup kita. Seakan-akan kita hidup buat bayar pajak. 

Logika Ekonomi yang Bikin Ngurut Dada 

Menurut pemerintah, kenaikan ini untuk meningkatkan pendapatan negara. Ya, kita semua tahu negara butuh duit buat pembangunan. Tapi dengan PPN yang naik ini, apakah efeknya benar-benar dirasakan rakyat kecil, atau justru bikin mereka makin tercekik? 

"Negara kita butuh uang," katanya. Tapi kayaknya rakyat juga butuh uang, deh. Masa lupa? 

Belanja Sehari-hari Jadi Latihan Kesabaran 

Kenaikan PPN bikin belanja bulanan jadi semacam latihan spiritual: sabar saat melihat harga barang, ikhlas saat gesek kartu, dan tawakal saat lihat struk belanja. Mungkin inilah cara pemerintah mengajarkan kita untuk lebih “berserah diri” dalam kehidupan. 

Dengan PPN naik, semua perhitungan jadi kacau seperti skrip sinetron kejar tayang. Sebab menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, seperti yang dikutip dari cnnindonesia.com (19/12), “Pemerintah memang mengatakan kenaikan PPN hanya untuk barang premium saja. Tapi barang mewah atau bahan premium itu hanya penamaan istilah saja. Hampir semua jenis barang dan jasa-jasa terkena 12 persen, kecuali bahan pokok dan sembako.” 

PPN Naik, Kreativitas Pun Ikut Naik 

Tapi sebagai rakyat, kita memang harus tangguh dan kreatif. Kenaikan PPN mungkin bikin dompet tipis, tapi semangat hidup harus tebal.

Menaikkan PPN menjadi 12% memang keputusan pemerintah, dan kita nggak punya pilihan selain mengikuti. Tapi mari berharap agar uang itu benar-benar digunakan untuk kebaikan rakyat, bukan sekadar tambal-sulam anggaran. 

Pada akhirnya, kita cuma bisa berharap pemerintah belajar dari Tuhan dalam urusan pajak dan keadilan sosial. Kalau zakat aja nggak pernah naik selama ribuan tahun, kenapa negara mudah sekali menaikkan pajak? 

Sampai saat itu tiba, kita selalu bisa membandingkan: Tuhan yang punya langit dan bumi hanya memerintahkan 2,5%, sementara pemerintah yang hanya punya satu negara minta 12% dan mungkin masih akan naik lagi di masa depan. Jadi siapa yang lebih pengertian? Jawabannya jelas, Tuhan.

Lebih baru Lebih lama