Tiga Kata Andalan Food Vlogger Karbitan

 

Food Vlogger

Dunia perkulineran Indonesia mulai terasa semarak di TV dan YouTube. Tayangan kuliner yang memanjakan mata dan memancing rasa lapar pun makin banyak bermunculan, khususnya dengan konsep jalan-jalan sambil makan atau berburu makanan khas di sudut-sudut tersembunyi.

 

Tapi sayangnya, bukan kualitas hidangan atau keunikannya yang sering jadi sorotan utama, melainkan gaya penyampaian dari host atau reviewer-nya yang terkadang bikin geleng-geleng kepala.

 

Ya, tidak semua orang memang berbakat jadi food vlogger, apalagi kalau tujuannya cuma sekedar tampil dan jadi pusat perhatian di depan kamera.

 

Berikut ini adalah fenomena kata-kata andalan yang sepertinya selalu muncul dari para food vlogger karbitan, dan kenapa ini mulai terasa membosankan!

 

1. Hidden Gem

 

Kata hidden gem ini pasti sering banget kamu dengar dari reviewer makanan. Begitu mereka tiba di sebuah warung pinggir jalan atau kedai sederhana yang harganya murah, langsung keluar deh, “Ini hidden gem, nih!”

 

Coba pikir-pikir lagi, kalau semua tempat makan disebut hidden gem, masih bisa dianggap tersembunyi nggak tuh? Kayaknya sih, udah nggak.

 

Dulu, istilah hidden gem ini sangat spesial. Maksudnya untuk tempat makan yang beneran sulit ditemukan, dan tidak banyak orang tahu. Sekarang yang namanya hidden gem bisa kamu temukan di mana saja, sampai di tempat makan yang punya ribuan ulasan di Google Maps!

 

Rasanya, makna “hidden” sudah hilang seiring makin mudahnya akses informasi. Apalagi dengan kehadiran para reviewer yang siap ngebongkar “permata tersembunyi” versi mereka.

 

2. Medhok

 

Nah, kata medhok ini sering muncul saat makanan tradisional Indonesia di-review. Biasanya buat mendeskripsikan makanan yang bumbunya kuat atau kaya akan rempah.

 

Misalnya, “Makanannya enak, bumbunya medhok banget!” Tapi, apa iya hanya dengan kata medhok kita bisa menggambarkan semua rasa yang kompleks itu?

 

Aroma rempah-rempah Indonesia itu kan kaya sekali, mulai dari wangi bawang putih, ketumbar, sampai cabai yang bikin pedas. Kalau sekadar bilang medhok, deskripsi itu nggak memadai buat menjelaskan kelezatan bumbu yang penuh nuansa itu.

 

Kebayang nggak, nonton seorang reviewer cuma bilang medhok berkali-kali tiap kali mencicipi? Bikin bosen, kan?

 

Mungkin para reviewer ini perlu sedikit lebih peka sama detail. Misalnya, “Rasanya bawang putihnya cukup terasa, tapi cabai rawitnya malah samar.” Atau, “Ada jejak ketumbar yang kuat di awal, lalu ditutup dengan pedas hangat dari jahe.”

 

Deskripsi yang detail justru akan membawa penonton lebih larut dalam cerita rasa yang disampaikan.

 

3. Banget

 

Nah, ini nih kata yang paling sering digunakan, terutama kalau makanan yang di-review sangat enak atau memiliki rasa yang kuat.

 

Contoh klasiknya? “Pedas banget!” atau “Gurih banget!” Awalnya sih, masih terdengar oke. Tapi makin ke sini, seolah semua rasa bisa selesai hanya dengan tambahan kata “banget.”

 

Bayangkan kamu lagi nonton tayangan kuliner, dan setiap kali ada rasa baru, selalu saja dibumbui dengan kata “banget.” Rasanya kurang variatif, kan?

 

Padahal ada banyak kata sifat yang bisa dipakai untuk menjelaskan rasa makanan yang unik. Kata-kata seperti “menggigit,” “menyengat,” atau “melekat” bisa jadi alternatif yang lebih menarik.

 

Kalau cuma bilang “pedas banget,” mungkin penonton nggak benar-benar kebayang seberapa pedas. Coba deh, pakai ungkapan yang lebih dramatis.

 

Misalnya, “Rasa pedasnya langsung nyengat di lidah, sampai mata berkaca-kaca!” atau “Gurihnya melekat di langit-langit mulut, bikin nggak mau berhenti makan.”

 

Menyegarkan Tayangan Kuliner dengan Bahasa yang Berbeda

 

Menyampaikan ulasan kuliner sebenarnya bukan sekedar soal apa yang dimakan, tapi juga gimana cara kita mengajak penonton untuk “merasakan” lewat layar.

 

Kalau sekedar mengulang kata-kata yang itu-itu saja, pastinya lama-lama penonton bosan. Apalagi, sekarang semakin banyak pilihan tayangan kuliner.

 

Para reviewer bisa lebih kreatif dalam menggunakan kata-kata, memberikan sudut pandang baru, atau sekadar menghindari klise yang sudah terlalu sering dipakai.

 

Coba ceritakan hal-hal kecil yang mungkin orang lain nggak sadar, misalnya keunikan bahan lokal atau cara memasak yang berbeda. Dengan begitu, setiap ulasan bisa terasa lebih personal dan berkesan.

 

Menciptakan Tayangan Kuliner yang Lebih Segar

 

Agar penonton tidak merasa jenuh, para reviewer perlu lebih peka dalam memilih kata dan gaya penyampaian. Dengan memperkaya kosakata dan menghindari kata-kata yang “begitu-begitu mulu,” ulasan mereka bisa jadi lebih hidup dan menggugah selera.

 

Kuncinya adalah tidak sekedar bicara, tapi benar-benar mengajak penonton untuk “merasakan” pengalaman kuliner tersebut.

Lebih baru Lebih lama