Akhir-akhir ini, boneka Labubu sedang ramai diperbincangkan di Indonesia. Bahkan di Gandaria City, antrean panjang pembeli memenuhi gerai Pop Mart demi mendapatkan boneka yang satu ini. Ada yang sabar menunggu berjam-jam, sementara yang lain terlihat kecewa karena stok habis tanpa pemberitahuan jelas dari toko.
Yang bikin
heran, kenapa sih orang sampai rela berpanas-panasan antre demi Labubu?
Bukankah boneka ini ‘mungkin nanti’ juga akan tersedia lagi di pasaran?
Sejujurnya, saya pribadi bingung dengan tren seperti ini. Apakah semua ini
semata-mata demi validasi sosial atau ada alasan lain yang lebih dalam?
Popularitas Labubu Meroket Berkat Lisa Blackpink
Fakta bahwa Labubu semakin populer setelah Lisa Blackpink mengunggah foto dirinya
dengan boneka ini memang tak terbantahkan. Sejak saat itu, penggemarnya semakin
meningkat, dan banyak orang tiba-tiba merasa perlu memiliki Labubu agar
dianggap "in." Ya, begitulah, di era media sosial, pengaruh seorang
idol K-pop bisa begitu besar hingga menimbulkan tren seperti ini.
Tapi mari kita
lihat lebih dalam. Apakah Lisa yang memegang Labubu benar-benar menjadi alasan
utama? Atau ini hanya efek sementara dari budaya FOMO (Fear of Missing Out)?
Koleksi atau Validasi?
Di Pop Mart, boneka Labubu dijual dengan harga berkisar antara Rp300 ribu
hingga Rp1,5 juta. Buat sebagian orang, harga ini mungkin wajar, apalagi jika
boneka ini dianggap sebagai item koleksi. Namun, apakah harga ini benar-benar
mencerminkan nilainya, atau ada faktor lain yang mempengaruhi?
Terkadang,
barang-barang seperti ini menjadi populer bukan karena nilai koleksinya,
melainkan karena tren sosial. Orang merasa harus memilikinya hanya agar tidak
ketinggalan tren. Fenomena ini bisa kita lihat jelas di antrean panjang dan
keributan yang muncul saat stok habis.
Fenomena FOMO
Jika
dipikir-pikir, tren seperti ini sering kali lebih berkaitan dengan FOMO
ketimbang nilai asli barang itu sendiri. Orang takut merasa tertinggal, merasa
tidak "in," atau tidak mengikuti perkembangan terbaru. Tapi di sisi
lain, apa yang benar-benar kita kejar? Kepuasan sesaat atau pengakuan dari
orang lain di media sosial?
Saya pribadi
melihat banyak kasus di mana orang rela menghabiskan waktu dan uang untuk
sesuatu yang nantinya akan tersedia lebih banyak di pasaran. Tentu, memiliki
boneka Labubu mungkin bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi sebagian orang.
Namun, apakah semua itu sepadan dengan stres antrean panjang dan potensi
kekecewaan saat stok habis?
Di Balik Karakter dan Karya Seni
Perlu diakui,
karakter Labubu yang diciptakan oleh Kasing Lung, memang menarik. Terinspirasi dari monster dalam mitologi Nordic, karakter ini
diperkenalkan sejak tahun 2015 dan telah memiliki penggemar setia di seluruh
dunia. Jika dilihat dari sudut pandang seni, Labubu jelas memiliki nilai
tersendiri sebagai karya orisinal.
Namun, kita
tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kepopuleran Labubu di Indonesia melonjak
karena faktor tren dan media sosial. Popularitasnya melonjak bukan hanya karena
karya seni itu sendiri, tetapi lebih kepada bagaimana karakter tersebut masuk
ke dalam budaya pop melalui selebriti seperti Lisa Blackpink.
Labubu dan Budaya Antre
Pada akhirnya,
tren seperti Labubu menunjukkan bagaimana konsumerisme dan media sosial saling
mempengaruhi. Orang rela menghabiskan waktu, tenaga, dan uang untuk sesuatu
yang mungkin nanti akan lebih mudah didapat. Semua demi merasa "bagian
dari sesuatu," atau sekadar memenuhi rasa ingin tahu.
Namun, penting
untuk diingat bahwa tidak semua hal yang viral atau tren layak diikuti hanya
karena orang lain melakukannya. Terkadang, menunggu dengan sabar dan berpikir
rasional bisa menghindarkan kita dari stres yang tidak perlu—seperti antrean
panjang atau stok yang habis.
Jadi, apakah
Labubu benar-benar layak untuk dikejar? Atau ini hanya momen singkat yang akan
segera berlalu? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.