PON 2024: Ajang Olahraga Nasional Rasa Agustusan

 

PON 2024

Usai menyaksikan semua kejadian memalukan di Pekan Olahraga Nasional (PON) 2024 yang digelar di Aceh dan Sumatera Utara, ada satu hal yang langsung muncul di kepala saya. Apakah ini benar-benar ajang olahraga nasional yang serius, atau sekadar lomba-lomba Agustusan yang dinaikkan levelnya?


Bukannya pesimis, tapi dari segala persiapan yang dilakukan, rasanya lebih mirip acara 17-an daripada kompetisi olahraga bergengsi yang diikuti oleh atlet-atlet terbaik dari seluruh penjuru Indonesia.


Pembangunan Fasilitas? Ah, Biasa Aja


Kita semua tahu, setiap kali ada PON diadakan di suatu daerah, pasti ada fasilitas olahraga baru yang dibangun, atau setidaknya direnovasi. Masalahnya, di Aceh dan Sumut, proyek-proyek ini seperti baru mulai digarap.


Coba bandingkan dengan kota-kota besar lain yang sudah punya fasilitas olahraga kelas dunia, seperti Jakarta, Surabaya, atau Solo. 


Di sana, kalau PON diadakan, semua sudah siap. Atlet tinggal datang, latih, dan bertanding. Sementara di Aceh dan Sumut, kita masih harus melihat stadion yang bahkan belum selesai dibangun.


Dari Mimpi Besar, Kembali ke Realita


Jujur, niat Aceh dan Sumut buat jadi tuan rumah PON ini mungkin patut diacungi jempol. Mimpi besar mereka untuk menggelar ajang olahraga nasional tentu bagus. Tapi kita juga harus realistis. Memaksakan diri jadi tuan rumah dengan fasilitas yang masih setengah jadi? 


Pemerintah daerah dan panitia seharusnya sudah bisa belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kita butuh infrastruktur yang sudah siap pakai, bukan yang sedang dibangun. 


Kenapa harus memaksakan diri jika fasilitasnya belum menunjang? Bukannya memperlihatkan kemajuan, malah jadi ajang untuk melihat proyek-proyek mangkrak di berbagai sudut kota.


venue becek
kumparan.com

Kenapa Bukan di Kota yang Lebih Siap?


Sejujurnya, PON lebih baik diadakan di kota-kota yang sudah siap, baik dari segi fasilitas maupun manajemen acara. Misalnya, Surabaya dengan Gelora Bung Tomo atau Jakarta dengan Gelora Bung Karno. 


Kota-kota ini sudah terbukti mampu menyelenggarakan event besar dan punya fasilitas yang jelas tidak diragukan lagi.


Alih-alih repot membangun fasilitas baru, lebih baik memanfaatkan yang sudah ada. Biaya yang dihemat bisa dialokasikan untuk meningkatkan kualitas acara, mengurus hal-hal teknis seperti transportasi dan akomodasi atlet, atau bahkan meningkatkan kualitas siaran agar penonton di rumah juga bisa menikmati PON dengan lebih maksimal.


GBK


Bukan Hanya Tentang Infrastruktur


Tapi bukan cuma soal stadion dan fasilitas olahraga. Penyelenggaraan sebuah event sebesar PON butuh perencanaan yang matang di segala lini. Misalnya, penginapan untuk atlet, transportasi, dan keamanan.


Kalau semua aspek ini tidak dikelola dengan baik, mau sehebat apa pun atlet yang bertanding, atmosfer acaranya jadi berantakan.


Saya bukannya skeptis tanpa alasan, tapi berkaca dari penyelenggaraan PON 2024 di Aceh dan Sumut, rasanya banyak yang perlu diperbaiki.


Kalau serius mau menggelar acara ini dengan standar nasional, bukan sekadar seremoni Agustusan, ya sudah saatnya kita lebih selektif dalam memilih kota tuan rumah. Pilih yang memang siap, bukan yang baru akan siap. Itu pun kalau sempat!


Pikir Ulang untuk PON Berikutnya


Jadi, untuk PON-PON berikutnya, mari kita belajar dari kesalahan. Alih-alih memaksakan daerah yang belum siap menjadi tuan rumah, lebih baik kita fokus pada kota yang sudah memiliki infrastruktur olahraga yang layak.


Karena kalau terus-terusan begini, kita hanya menambah panjang daftar keluhan publik. Lebih baik mulai sekarang kita menilai kesiapan sebuah kota bukan dari niatnya saja, tapi dari kenyataan di lapangan.

Lebih baru Lebih lama