Apakah Dokter Masa Depan Kita Dibesarkan dengan Perundungan?

 

dokter

Bercita-cita menjadi dokter. Ungkapan itu banyak diutarakan oleh anak-anak ketika ditanya mau jadi jika sudah besar nanti. Menolong sesama, berbekal ilmu pengetahuan dan tangan terampil. 


Tapi, realita pendidikan kedokteran di Indonesia bisa jadi tamparan pahit. Kultur senioritas, yang kerap dibungkus dengan istilah "pembinaan", seringkali justru berupa perundungan terselubung. Ini bukan drama Korea, teman-teman. Ini realita yang perlu kita bongkar bersama.

 

Bayangkan, para calon dokter muda yang penuh idealisme ini justru harus menghadapi senior yang gemar "meneror". Tugas-tugas di luar batas kewajaran, seperti menjadi asisten pribadi atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seolah menjadi syarat kelulusan tak tertulis. Belum lagi hinaan verbal yang merendahkan, yang konon bertujuan "menguatkan mental".

 

Mirisnya, para junior ini terjebak dalam situasi "makan buah simalakama". Melawan? Dicap tidak menghormati senior dan berisiko dipersulit habis-habisan. Diam saja? Mental tertekan dan berpotensi menghambat proses belajar. Kultur perundungan ini, alih-alih membentuk dokter yang tangguh, justru bisa menanamkan bibit kesembronoan dan ketidakpedulian.

 

Lantas, bagaimana perundungan di dunia kedokteran bisa berdampak buruk bagi pasien di masa depan? Efeknya domino. Dokter yang lahir dari kultur perundungan, besar kemungkinannya akan kurang memiliki rasa empati. Mereka terbiasa melihat junior sebagai "bulan-bulanan", dan kebiasaan ini bisa terbawa ke ranah profesional.

 

Dampaknya? Pasien yang membutuhkan penanganan medis justru bisa menjadi pihak yang dirundung. Bayangkan, di saat pasien dalam kondisi rentan dan membutuhkan pertolongan, dokter yang seharusnya menjadi tempat mengadu malah bersikap tidak peduli atau bahkan kasar. Bisa jadi, alih-alih sembuh, sakitnya justru semakin parah karena stres akibat perlakuan dokter.

 

Bukan hanya itu, kultur perundungan juga bisa berakibat fatal pada keselamatan pasien. Dokter yang terbiasa ditekan dan dipermalukan seniornya, berpotensi memiliki mental yang rapuh. 


Akibatnya, kemampuan mengambil keputusan secara cepat dan tepat di ruang operasi atau ruang gawat darurat bisa terganggu. Ini jelas-jelas membahayakan keselamatan pasien!

 

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk memutus rantai perundungan ini? Pertama, para junior harus berani bersuara. Ada banyak lembaga yang bisa menjadi wadah untuk melaporkan tindakan perundungan. 


Pihak rumah sakit juga perlu tegas dengan menerapkan kebijakan anti-perundungan dan memberikan sanksi yang berat bagi para pelaku.

 

Tak lupa, peran para senior juga sangat penting. Bukan dengan dalih "dulu kami juga begini", tapi dengan membangun kultur mentoring yang sehat. Senior seharusnya menjadi sosok pembimbing yang suportif, bukan monster penebar ketakutan.

 

Ingat, dokter adalah profesi mulia yang mengedepankan pelayanan dan kemanusiaan. Kultur senioritas yang berujung pada perundungan tidak memiliki tempat di pendidikan kedokteran kita. 


Mari bersama wujudkan generasi dokter masa depan yang tidak hanya cerdas dan terampil, tapi juga memiliki empati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

 

Ini bukan sekadar tentang gengsi, tapi tentang masa depan kesehatan Indonesia. Para pasien di masa depan, termasuk kamu dan keluarga, berhak mendapatkan pelayanan medis yang optimal dari dokter yang lahir dari kultur pendidikan yang sehat.

Lebih baru Lebih lama