Tak
henti-hentinya saya mengkritik platform media sosial yang satu ini karena
menurut saya lebih banyak mudaratnya ketimbang positifnya.
Seiring dengan
maraknya konten di TikTok, muncul tag aneh yang disebut sebagai #IDIOCRACY. #IDIOCRACY
adalah tag yang digunakan oleh sebagian pengguna TikTok untuk mengekspresikan
ketidaksetujuan atau kritik terhadap konten yang dianggap tidak bermutu, tidak
berpendidikan, atau tidak sesuai dengan norma-norma sosial.
Tag ini
berasal dari kata "idiocracy", yang berarti pemerintahan atau
masyarakat yang didominasi oleh orang-orang bodoh. Tag ini mungkin terinspirasi
oleh film komedi satir berjudul Idiocracy yang dirilis pada tahun 2006, yang
menggambarkan dunia di masa depan yang penuh dengan kebodohan dan kemunduran.
Beberapa
contoh konten yang ditandai dengan #IDIOCRACY adalah video-video yang
menampilkan aksi-aksi nekat, tantangan-tantangan berbahaya, prank-prank tidak
lucu, atau opini-opini kontroversial. Tag ini juga sering digunakan sebagai
bentuk sindiran atau ejekan terhadap pengguna TikTok lainnya yang dianggap
kurang cerdas atau berwawasan.
Saya melihat
bagaimana para pengguna TikTok berkembang dari sekadar joget-joget nggak jelas
di kamar tidur mereka, kini menjadi ibaratnya sebuah boneka yang dapat
dioperasikan dengan koin. Fenomena ini menciptakan pertanyaan tentang keadaan mentalitas
manusia dan arah evolusi platform ini.
Dulu, sebagai
hiburan kita bisa membayar memasukkan koin di vending machine yang ada boneka
badutnya, kemudian boneka ini bergoyang-goyang dan menari lucu. Namun sekarang,
kita bisa menemukan ‘boneka badut’ itu di layar smartphone yang dapat kita
bayar untuk bereaksi terhadap hadiah digital seperti es krim virtual.
Fenomena ini
menarik perhatian, terutama karena beberapa pengguna TikTok dapat menghasilkan
hingga tujuh ribu dolar per hari. Pertanyaannya, apakah ini adalah alasan
mengapa semakin sedikit orang yang ingin bekerja secara normal?
Tidak bisa
dipungkiri bahwa Gen-Z sekarang lebih tertarik pada mendapatkan popularitas di
TikTok daripada mencari pekerjaan. Fenomena ini mengundang pertanyaan mengenai
nilai karir dan apakah kepopuleran di media sosial sebanding dengan menjual
harga diri untuk mendapatkan 'like' dab gift di TikTok.
Belum lagi
potensi dampak negatif dari kecanduan TikTok. Pengguna yang terus-menerus mengejar
popularitas dengan konten yang kurang bermakna dapat mengalami dampak pada
kesehatan mental mereka. Bahkan, ada spekulasi bahwa beberapa pengguna mungkin
mengalami 'kematian otak' karena mengejar konten yang kurang bermakna.
Dengan adanya
konten seperti ini, muncul pertanyaan apakah kita sedang menyaksikan kemunduran
masyarakat dan nilai-nilai yang lebih tinggi. Banyak video di Tiktok
menunjukkan bagaimana ketidakwarasan dan kurangnya kesadaran atas realitas
dapat menjadi hiburan bagi sebagian orang, tetapi juga menciptakan keprihatinan
akan dampak jangka panjangnya.
Dulu
orang-orang mungkin melakukan hal serupa di rumah sakit jiwa secara gratis.
Namun sekarang, dengan adanya TikTok, bahkan pasien rumah sakit jiwa dapat
menghasilkan uang dari sana. Hal ini menunjukkan pergeseran budaya dan cara
orang mencari perhatian dan popularitas dalam era digital ini.
Bayangkan jika
pahlawan kita yang dulu mengorbankan nyawanya demi kebebasan, diberi kesempatan untuk melihat bagaimana generasi TikTok ini
berkembang. Saya berani bertaruh dia akan mengekspresikan keprihatinannya dan
kesedihannya.
Tag #IDIOCRACY
ini memberikan gambaran tentang dampak TikTok pada kehidupan sehari-hari dan
budaya kita. Pertanyaannya, apakah kita bergerak menuju masa depan yang lebih
cerdas dan bermakna, ataukah kita terperangkap dalam #IDIOCRACY, di mana
kebodohan dan kurangnya kesadaran mengambil alih media sosial dan budaya
populer?